Bermimpi. Berjuang. Berdamai.
Buku ini adalah kisah nyata seorang anak buruh tani dari sebuah desa kecil di Mojokerto, yang tumbuh dalam keterbatasan, namun tidak pernah berhenti bermimpi.
Dengan tekad dan keberanian, ia menembus batas geografis, sosial, dan emosional, hingga akhirnya menjejakkan kaki di negeri yang dulu hanya ada dalam angan: Amerika.
Ditulis sejak tahun 2014, Memoar Sang Pemimpi bukan hanya catatan perjalanan, tapi juga potret kejujuran tentang jatuh bangun hidup di negeri orang.
Tentang bagaimana seseorang bertahan di tengah sepi, menghadapi diskriminasi, kesulitan finansial, dan kerinduan tak berujung pada tanah air. Tentang luka yang tak terlihat, harapan yang nyaris padam, dan langkah-langkah kecil yang penuh keberanian.
Ini adalah kisah tentang bagaimana seseorang belajar berdamai dengan masa lalu, dengan kehilangan, dan dengan dirinya sendiri.
Lebih dari sekadar cerita hidup, buku ini adalah pelita bagi siapa pun yang sedang mengejar mimpi dalam sunyi. Ia hadir untuk mengingatkan bahwa mimpi besar bisa lahir dari tempat sederhana dan bahwa setiap perjuangan, sekecil apa pun, selalu berarti.
Buku ini menawarkan narasi low context yang kuat secara emosional. Gaya tulisnya direct yet dense, menyisipkan makna dalam setiap kesederhanaan.
Mas Ridwan tampil sebagai agent of social mobility dari kelas akar rumput. Tanpa glorifikasi, ia menunjukkan grit, vulnerability, dan self determination dalam menghadapi struktur sosial yang eksklusi.
Sebagai pembaca berprivilege, saya mengalami cognitive dissonance tersadar bahwa equal opportunity hanyalah mitos bagi banyak orang.
Ayah saya pernah berkata
"Keberuntungan hanyalah alasan yang diciptakan oleh mereka yang enggan berjuang."
Saya dulu mengabaikannya. Tapi usai membaca kisah ini, saya tersadar kalimat itu bukan sekadar petuah, melainkan teguran sunyi yang selama ini saya tolak dengar.
Profesor Yusuf
It's giving "your dreams are valid and you got this".
Thanks Kak Ridwan, I'm so inspired right now
Asita Zahra
Aku tidak pintar membuat rangkaian kalimat yang indah, hmm… memang kalau sekarang kamu sudah tercukupi secara materi. Tapi kalau mengingat masa lalu, aku benar-benar tidak bisa berkata-kata. Seandainya kita saling mengenal sejak masih sekolah, mungkin aku bisa ikut berbagi bekal untukmu.
Untuk orang tuamu, aku sangat menghormati mereka. Mereka mampu mendidikmu hingga menjadi seperti sekarang dengan segala keterbatasan yang ada. Mereka tidak pernah menghalangi mimpi-mimpimu yang besar, selalu mendukungmu. Karena terkadang ada beberapa orang tua yang tidak ingin anaknya pergi jauh—itu juga bentuk kasih sayang, tetapi bisa membuat anak sulit berkembang. Namun, orang tuamu tidak seperti itu. Mereka luar biasa.
Lalu tentang Kinan, aku tidak kalah kagum. Dia rela mengalah untukmu, sampai-sampai tidak melanjutkan sekolah. Hatinya sungguh luas. Rasa sayangnya kepadamu tidak berkurang sedikit pun. Dia tetap perhatian, bahkan rela bangun pagi hanya untuk menyiapkan bekal dan mengantarmu ke stasiun atau terminal.
Untuk saudara-saudaramu yang lain, mereka juga tangguh. Hanya saja kamu tidak menceritakan kisah mereka secara rinci, jadi aku paling terkesan pada Kinan. Sampaikan salamku untuknya ya—Kinan adalah perempuan hebat.
Untuk teman-temanmu yang membantumu saat masa sulit, aku membaca kisahnya dengan rasa lega sekaligus bersyukur. Di saat-saat paling sulit, kamu dikelilingi oleh orang-orang yang baik.
Dan untuk dirimu yang sekarang—selamat ya. Kamu sudah melangkah sejauh ini dan sekuat itu. Semoga kamu selalu sehat, terus dikelilingi oleh orang-orang baik, dan kelak bertemu dengan perempuan yang cintanya setara dengan cintamu.
Nieta
Setiap pembelian buku Memoar Sang Pemimpi via WhatsApp, pembeli akan mendapatkan satu souvenir Tentang Amerika atau satu kesempatan untuk ngobrol dengan Mas Ridwan selama 15 menit.
copyright © 2025 mas ridwan - all rights reserved.
dibuat oleh mas ridwan